EMOSI BATIN YANG TERSIMPAN DALAM SAJAK SEDERHANA KUMPULAN PUISI MELIPAT JARAK KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

EMOSI BATIN YANG TERSIMPAN DALAM SAJAK SEDERHANA
KUMPULAN PUISI MELIPAT JARAK KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH PUISI
                                                                                                                           





oleh :
Atika Desita   (15210141045)






Sastra Indonesia - 2017
Universitas Negeri Yogyakarta
Jalan Colombo No. 1 Yogyakarta 55281,
                  Telepon (0274) 550843, (0274) 546719, Fax (0274) 548207








EMOSI BATIN YANG TERSIMPAN DALAM SAJAK SEDERHANA
KUMPULAN PUISI MELIPAT JARAK KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
Oleh Atika Desita
FBS UNY

A.   Pendahuluan
            Menurut Suminto A. Sayuti (2002: 3) bahwa salah satu hakikat dari puisi yakni puisi mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya. Hal ini sangat melekat pada sajak-sajak dari kumpulan puisi Melipat Jarak dari Sapardi Djoko Damono. Ada kemarahan-kemarahan yang timbul karena keadilan yang belum usai, pergolakan politik yang merugikan rakyat, juga gambaran dari masyarakat yang tertindas. Manusia mempunyai mertabat dan derajat yang tinggi nyatanya dianggap seperti sampah dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Hakikat manusia akan terus dipertanyakan. Penguasa-penguasa negeri hanya memikirkan egonya saja, sedangkan rakyatnya dibiarkan menderita dari jaman ke jaman.

B.   Emosi dalam sajak bernuansa sosial
            Dongeng Marsinah, Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996 dan Ayat-ayat Api merupakan bentuk pengungkapan tentang renungan masyarakat atau protesnya masyarakat terhadap anti kemanusiaan (kritik sosial politiknya). Ketiganya diungkapkan dengan bentuk-bentuk liris-imajis,naratif, ,maupun retoris. Pemilihan bahasa komunikasi yang digunakan Sapardi begitu terasa, penuh imaji dengan memperlihatkan latar belakang kondisi jaman. Ketiga sajak tersebut mampu membawa pembaca membayangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kejadian fakta dan fiksi dirangkum menjadi sajak yang bagus. Kejadian fakta diangkat dan dikemukakan dengan diksi dan citraan pilihan.

            Keserakahan manusia menjadikan seseorang lupa akan saudaranya sendiri. Dongeng Marsinah mengungkapkan adanya penindasan terhadap kaum buruh yang lemah. Tidak ada keadilan yang berdiri tegak, yang ada hanya kekejaman yang terjadi disana-sini. Buruh telah bekerja dengan baik, namun imbalan yang didapat sangatlah tidak sepadan. Ketika kaum lemah meminta haknya, ia justru mendapatkan siksaan. Diceritakan bahwa Marsinah adalah buruh yang rajin, ia tidak banyak menuntut. Marsinah hanya ingin mencari uang untuk makan dan hidup layak, namun yang ia dapatkan sangatlah tidak sepadan.

/3/



Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.

            Sajak ini mengandung pertanyaan tentang hakikat kemanusiaan yang sebenarnya. Sapardi Djoko Damono mengangkat Dongeng Marsinah untuk menyampaikan protesnya atas kekejaman yang telah terjadi. Marsinah diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi. Orang-orang mulai kehilangan rasa belas kasih sayang antarsesamanya. Bagaimanapun juga Marsinah akan terus dikenang. Marsinah menjadi saksi bagaimana masyarakat belum mendapatkan jaminan dan perlindungan secara merata. Rima dari sajak ini tidak baraturan namun ada beberapa bentuk pararelisme dari sajak ini seperti kata “ia” pada “ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi”. Penggunaan pungtuasi tanda petik (“) juga banyak bahkan disisipkan sebuah percakapan pendek seperti “ia suka berpikir,” kata Siapa”. Ada beberapa majas seperti majas personifikasi “mereka kira waktu bisa disumpal, agar lengkingan detiknya, tidak kedengaran lagi”.
            Tidak jauh dari Marsinah, mahasiswa yang berdemo untuk membela rakyatpun akhirnya harus terenggut nyawanya. Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996 adalah contoh puisi yang menceritakan bagaimana semua orang berusaha untuk mendapatkan keadilan negeri.
Ia telah mati hari itu dan ada saja yang menjadi ribut

Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
merasa was-was akan nasib kita yang telah
meributkan orang mati

            Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996 membawa kita kembali pada tragedi-tragedi yang menyedihkan namun penuh dengan nilai perjuangan. Namun di setiap kematian menyimpan sejarah yang besar. Kematian juga menjadi saksi bagaimana keadaan merenggut jiwa dari dunia. Keadaan negeri yang tidak stabil, protes rakyat yang tidak didengar, penguasa yang semena-mena mengakibatkan banyaknya gejolak dan berujung pada kerusuhan yang meminta korban. Mahasiswa menjadi jembatan bagi masyarakat dan para penguasa. Mahasiswa menginginkan keadaan negeri yang lebih baik lagi. Namun lagi-lagi kekuasaan dari para penguasa menjadikannya kecil dan tak berarti bahkan hingga ia mati. Kematian disiarkan dimana-mana menyadarkan bahwa tiap-tiap orang yang masih hiduppun akan mendapatkan kisah yang sama. Masih tentang kematian yang sama mirisnya. Satu kematian membawa kematian yang lain. Bahwa setiap yang berjuang harus berani mati. Ayat-ayat Api menjadi satu contok lagi sajak yang menggambarkan bahwa masyarakat merupakan korban dari ketidakadilan. Sajak ini menggunakan diksi yang sederhana bahkan sajak ini seperti bercerita layaknya sebuah narasi.
/14/
Kami memang sangat banyak
Astagfirulah

Menumpuk di dekat sampah
Tak sempat diangkat

Tergoda minyak
Habis terbakar

Kami memang sangat banyak
astagfirulah

            Ayat-ayat Api  juga menceritakan kejadian pada bulan Mei 1998 dimana oleh Sapardi Djoko Damono dilambangkan dengan api-api. Bulan itu semua tampak berbeda masyarakat  ganas, liar, merusak , merempas, memperkosa, membunuh, menjarah, dan membakar gedung-gedung sampai-sampai mereka ikut terbakar didalamnya karena digerakkan oleh segolongan orang yang tidak bertanggung jawab. Pada saja Ayat-ayat Api lebih banyak menggunakan majas dan citraan. Seperti majas personifikasi “dimana gerangan kemarau,” “yang dijemput angin”, “di bukit-bukit, yang tidak mudah tersinggung”. Bentuk pararelisme juga terlihat pada bait-bait akhir “kami memang sangat banyak, astaghfirulah” yang diulang dua kali. Ada juga simile pada sajak ini “sayapnya sehabis gerimis, di pagi (yang bagai mata kena jeruk)”. Kata “api” mendominasi di sajak ini bahkan sering di ulang-ulang. Selain itu kata “api” juga sebagai simbol yang dibuktikan dalam kalimat “api adalah lambing kehidupan”.

C.   Makna “kesabaran” dalam sajak sederhana
                        HANYA
hanya suara burung yang kaudengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada disana

hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu

Hanya merupakan sebuah sajak yang bercerita tentang adanya cinta yang tak terbalas. Seseorang telah melakukan apa saja demi pasangannya namun tidak pernah mendapatkan balasan cinta. Pada kalimat “hanya suara burung yang kaudengar, dan tak pernah kaulihat burung itu”  artinya orang yang dicintai tersebut merasakan tanda-tanda cinta tetapi ia tidak pernah menyadari siapa yang memberikan tanda itu. Lalu pada kalimat “tapi tahu burung itu ada disana” artinya orang yang dicintai tersebut tidak sadar bahwa orang yang mencintainya ada dekat dengannya. Dan dipertegas pada bait terakhir “hanya doaku yang bergetar malam ini, dan tak pernah kau lihat aku, tapi yakin aku ada dalam dirimu” artinya orang itu benar-benar mencintai dan mendoakan pasangannya, namun pasangannya tidak pernah sadar dengan keberadaannya. Sapardi menggunakan citraan-citraan seperti indra pendengaran dan penglihatan. Selain itu ada juga majas seperti majas personifikasi “hanya doaku yang bergetar”.
Selain sajak Hanya  ada pula sajak cinta berjudul Sudah Lama Aku Belajarí yang maknanya juga hampir sama. Sudah Lama Aku Belajar juga menceritakan adanya seseorang yang telah melakukan segala hal untuk orang lain namun tidak pernah dinilai.
/1/
Sudah lama aku belajar memahami
apa pun yang terdengar di sekitarku,
sudah lama belajar menghayati
apa pun yang terlihat di sekelilingku,
sudah lama belajar menerima
apa pun yang kauberikan
tanpa pernah bertanya apa ini apa itu,
sudah sangat lama belajar mengagumi matahari
ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku,
sudah sangat lama belajar bertanya
kepada diri sendiri
mengapa kau selalu memandangku begitu

            Sajak ini mengangkat makna bahwa seseorang telah sabar menerima segala perlakuan orang lain. Orang itu telah melakukan segala hal namun tidak mendapatkan balasan. Sapardi menggunakan bentuk pararelisme seperti pada kata “sudah lama belajar” dan “apa pun yang”. Dalam sajak ini tidak banyak digambarkan dengan majas-majas dan diksinya pun sederhana. Makna yang terkandung dalam sajak ini adalah suatu bentuk kesabaran. Meskipun orang lain tidak menghargai apa yang sudah ia lakukan tetapi ia terus saja bersabar. Hingga ia pun hampir putus asa dan tidak tahu sampai kapan bisa terus bersabar. Hal ini dijelaskan pada bait terakhir “kalau pada suatu hari nanti, kau mengetuk pintu, tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya”. Artinya ia pun ragu akan kesabarannya selama ini.
            Kedua saja sajak ini, Hanya dan Susah Lama Aku Belajar mempunyai makna dan pengertian yang sama yakni kesabaran karena telah berbuat baik tetapi tidak dinilai bahkan diacuhkan. Penggunaan bahasa untuk sajak-sajak tersebut juga sangat sederhana sesuai dengan karakter kepenulisan Sapardi yang sederhana namun begitu bermakna. Sajak-sajak ini menggunakan sudut pandang orang pertama atau banyak penggunaan kata “aku”, sehingga pembaca bisa merasakan apa yang terkandung dalam puisi itu dan bisa mengibaratkan peristiwa yang ada pada puisi seakan-akan terjadi pada dirinya.


Comments

Popular Posts