FILOLOGI: LEGENDA COKROJOYO DAN KAMPUNG JOLOSUTRO
LEGENDA COKROJOYO DAN KAMPUNG JOLOSUTRO
Dahulu
ada seorang penyadap nira bersama istrinya tinggal di sebuah daerah. Ia bernama
Cokrojoyo, dan istrinya bernama Bagelan. Satu batang dari dari pohon nira yang ia sadap dapat digunakan
untuk menghidupi keluarganya. Kampung tempat ia tinggal dengan hutan tempat
mengambil nira sangat jauh. Untuk mencapai hutan itu dibutuhkan setengah hari
perjalanan.
Suatu
pagi ketika akan ke hutan mengambil nira (nderes), Cokrojoyo berjalan sambil
melantunkan tembang yang juga sebagai mantra. Bunyinya adalah “klontang-klantung wong nderes buntute
bumbung, opo gelem opo ora”. Ia selalu melantunkan tembang itu, ketika itu
ia mendengar sebuah suara asing yang mengatakan agar Cokrojoyo mengganti
tembang tersebut dengan asma Allah. Sehingga selama melakukan perjalanan dari
rumah menuju hutan akan menjadi pahala. Namun Cokrojoyo menghiraukan kata-kata
tersebut. Ketika Cokrojoyo sampai di hutan, ia segera melakukan pekerjaan yaitu
akan mengambil nira dari bumbung yang sudah ia pasang. Dari bawah pohon seseorang
menyuruh Cokrojoyo untuk mengganti tembang tersebut dengan tembang kudus
(nyanyian untuk Gusti Allah). Dan jika mengganti dengan asma Allah maka
bumbungnya akan cepat penuh dengan nira. Maka Cokrojoyo pun menurutinya. Ia
mengganti tembang yang ia nyanyikan dengan lirik dari asma-asma Allah. Ketika
ia mengambil bumbungnya, terkejutlah si Cokrojoyo melihat bumbungnya penuh
dengan nira. Karena ingin berterimakasih, maka Cokrojoyo mengajak orang asing
itu singgah ke rumahnya.
Setelah
sampai di rumah Cokrojoyo, orang tersebut meminta ijin untuk membantu memasak
nira. Namun saat memasak nira, ia berpesan agar jangan membuka adonan cetakan
gula itu sebelum ia meninggalkan rumah Cokrojoyo. Karena Cokrojoyo dan istrinya
penasaran dengan pesan tersebut, ketika orang asing itu sudah meninggalkan
rumah, mereka segera membuka adonan cetakan gula tersebut. Namun adonan itu
sangat keras dan susah diambil. Mereka terkejut tatkala melihat hasil cetakan
niranya berubah menjadi emas. Karena penasaran dengan orang asing
tersebut, maka Cokrojoyo berniat untuk
mencarinya dan berniat untuk berguru kepada orang itu.
Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya
Cokrojoyo berhasil menemukan orang asing tersebut yang ternyata dia adalah
Sunan Kalijaga. Cokrojoyo menyampaikan maksudnya untuk berguru dan menimba ilmu
agama kepada Sunan Kalijaga. Akhirnya Sunan Kalijaga pun menyetujuinya. Pada
suatu ketika, Sunan Kalijaga berniat untuk pergi mensyiarkan agama Islam. Ia
menyuruh Cokrojoyo menunggu tempat dengan diberi tongkat. Sunan Kalijaga
berpesan agar Cokrojoyo tidak meninggalkan tempat itu sebelum ia kembali dari
mensyiarkan agama. Maka Cokrojoyo pun menyanggupinya. Cokrojoyo berjanji dalam
hatinya akan selalu menjaga tempat juga tongkat itu dan ia berjanji tidak akan
pergi dari tempat itu.
Hingga kurang lebih 8 tahun lamanya
Sunan Kalijaga berkelana, maka ia berniat untuk kembali. Sunan Kalijaga pun
teringat akan Cokrojoyo yang dulunya ia beri kepercayaan untuk menjaga tempat
dan tongkatnya. Maka dengan segera Sunan Kalijaga kembali. Sunan Kalijaga
terkejut mendapati tempat Cokrojoyo untuk menunggu ternyata telah menjadi
hutan. Sunan Kalijaga berusaha mencari Cokrojoyo namun kesusahan karena tempatnya telah berubah. Sunan Kalijaga pun
berpikir bahwa Cokrojoyo telah pergi meninggalkan tempat itu karena tidak betah
menunggunya. Hutan itu pun akhirnya dibakar. Namun ketika telah dibakar habis, tampaklah badan Cokrojoyo yang bersujud gosong
berwarna hitam (geseng) akibat terkena api. Maka dari situlah Cokrojoyo
mendapat julukan sebagai Sunan Geseng oleh Sunan Kalijaga. Ia telah lolos untuk
menjadi Sunan.
Setelah menjadi Sunan dan disaksikan
oleh Wali Songo, Cokrojoyo mulai mensyiarkan agama ke daerah-daerah. Ia
mensyiarkan agama di bagian pesisir selatan, karena pesisir utara sudah adalah
domisili Wali Songo. Daerah terakhir dari syiar agama oleh Sunan Geseng adalah di Piyungan yang dulunya disebut
Pinayungan. Maka Sunan Geseng mendirikan padepokan di daerah Pinayungan dan
terkenal dimana-mana sehingga tersebarlah julukan sebagai Ki Depok.
Kala itu Kerajaan Mataram
diprakarsai oleh Panembahan Senopati. Selir Panembahan Senopati sedang hamil
dan ngidam Ikan wader bang sisik kencana. Istri pertama dari Panembahan
Senopati yang bernama Prameswari sudah memiliki anak berumur sekitar 8 tahun. Selirnya
berniat membunuh anak dari istri pertamanya agar anak yang sedang dikandungnya
kelak menjadi penerus kerajaan. Selir Panembahan Senopati menyuruh pangeran
Purbaya untuk menyingkirkan anak Prameswari. Karna Pangeran Purbaya tahu maksud
jahat dari selir Panembahan Senopati, maka ia bermaksud menitipkan anak
tersebut di Padepokan milik Sunan Geseng.
Karena tersyiar kabar bahwa ada
seorang sesepuh yang sakti yaitu Sunan Geseng, maka Panembahan Senopati meminta
bantuan kepada Sunan Geseng untuk mencari ikan wader bang sisik kencana. Namun
Sunan Geseng bingung untuk mendapatkan ikan tersebut. Akhirnya Sunan Geseng
menceritakan tentang pencarian ikan wader bang sisik kencana pada anak
Panembahan Senopati yang dititipkan di padepokan. Karena bingung Sunan Geseng
pun bertanya pada anak tersebut apakah anak tersebut bisa berubah menjadi ikan
wader bang sisik kencana. Kemudian anak itu menjawab bisa karena ia adalah
murid dari Sunan Geseng. Dan apapun permintaan dari Sunan Geseng akan ia
setujui.
Setelah bertanya ke Kraton maka
Sunan Geseng mendapatkan syarat untuk mendapatkan ikan wader bang sisik
kencana. Yaitu ikan wader bang sisik kencana hanya bisa dijaring dengan jala
sutra tambang kencana dan dibuatkan danau buatan (segoroyasan). Maka Panembahan
Senopati menyanggupinya dan segera membuatkan jala dan danau. Setelah jadi,
Sunan Geseng anak tersebut disuruh lompat dan dijaring dengan jolo sutro
tambang kencana maka berubahlah anak itu menjadi ikan wader bang sisik kencana.
Kemudian ikan tersebut diberikan kepada selir Panembahan Senopati. Ketika selir
itu menguap, tiba-tiba ikan tersebut masuk kedalam mulutnya dan ketika
melahirkan maka bayi tersebut adalah jelma anak dari istri pertamanya. Tentulah
anak itu akan meneruskan tahta Panembahan Senopati seperti takdir pertamanya.
Dan dari tempat pembuatan jala sutra tambang kencana tadi maka tersebutlah
kampung Jolosutro.

Comments
Post a Comment